Langsung ke konten utama

Makalah Gereja Kristen Sumba dan Budaya


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai warga gereja yang hidup di bumi Indonesia, khususnya Gereja Kristen Sumba yang hidup dan bertumbuh di Pulau Sumba, merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kita hidup dalam masyarakat yang masih sangat kuat memelihara dan dipengaruhi oleh kebudayaan Sumba yang diwarisi dari generasi terdahulu. Sadar atau tidak sadar, ada banyak norma kebudayaan yang iktu mengatur dan membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat Sumba hingga sekarang ini. Hal ini tetap terjadi pada saat orang Sumba menerima dan menyatakan kesetiaan menjadi pengikut Kristus. Pengaruh kebudayaan  Sumba tempat dimana kita lahir dan bertumbuh tentu tidak bisa diabaikan, tetapi sebaliknya tetap mewarnai kehidupan kita sehari-hari, terutama dalam sejarah perkembangan kekristenan di Sumba, dalam hal ini sejarah Gereja Kristen Sumba.
Menyadari kenyataan tersebut diatas, maka Gereja Kristen Sumba yang lahir dan bertumbuh serta berkembang di Pulau Sumba merupakan bagian dari kebudayaan Sumba itu sendiri. Dengan demikian, Gereja Kristen Sumba yang sejak awal penyebaran Injil di Pulau Sumba merasa perlu untuk mengabarkan Injil dengan menggunakan hasil kebudayaan Sumba itu sendiri. Untuk itulah, makalah ini disusun untuk mengkaji hubungan antara Gereja Kristen Suma dan kebudayaan masyarakat Sumba.

B.     Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan kebudayaan?
2.      Seperti apakah seni kebudayaan Sumba?
3.      Bagaimana hubungan antara Gereja Kristen Sumba dengan kebudayaan tersebut?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk memenuhi persyaratan tugas dan penilaian mata Kuliah Sejarah Gereja Kristen Sumba
2.      Untuk mengkaji dan mengetahui hubungan antara Gereja Kristen Sumba dan kebudayaan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan atau kultur berasala dari kata Latin Colere, yang berarti membuat, mengolah, mengerjakan, menanam, menghias, dan mendiami. Karena itu, kultur banyak dipahami berhubungan dengan pekerjaan dan hasil pekerjaan manusia dalam menjalani kehidupannya masing-masing. Konteks kehidupan yang berbeda-beda membuat kultur manusia atau cara mereka bersikap pun berbeda-beda. Kultur manusia yang berbeda-beda tersebut dapat dilihat dari unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yang merupakan hasil dari kebudayaan yang meliputi bahasa, mata pencaharian, ilmu pengetahuan, kesenian, sistem kepercayaan dan lain sebagainya. Namun demikian, kultur juga terkait dengan hal-hal yang rohani. Perilaku atau sikap sehari-hari tentu bertolak dari pengetahuan atau pandangan-pandangan yang diyakini kebenarannya. Cara bercocok tanam, misalnya, tentu tidak dilakukan begitu saja dengan sendiriny, melainkan terkait dengan pemahaman-pemahaman yang mereka yakini. Karena itu, kebudayaan juga sebenarnya bersangkut paut dengan keyakinan-keyakinan religius. Setiap tingkah dan perilaku manusia mempunyai makna religius dan bukan sekedar dibuat-buat. Kenyataan ini sesungguhnya banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Sumba
Bertolak dari pemahaman diatas, maka kebudayaan dalam perspektif iman Kristen sesungguhnya merupakan bagian dari kehendak Allah  dalam diri manusia. Dengan kata lain, berbudaya adalah bagian dari pemenuhan tugas dan tanggungjawab manusia kepada Allah. Sejak dari kisah penciptaan, manusia sudah diberi perintah oleh Allah untuk mengelola alam (Kej. 2:15), yang bertujuan untuk membantu manusia, guna menjadi lebih benar, lebih pandai, lebih mulia, serta tentu menjadi hamba Allah yang baik. Disisi lain, ketaatan manusia terhadap perintah ini sesungguhnya merupakan bagian dari kepercayaan terhadap Allah yang memberi tugas tersebut.

B.     Seni Budaya Sumba
Orang Sumba mempunyai budaya tersendiri. Mereka telah mengenal budaya bersawah, bertani, seni kerajinan, tari-tarian, dan nyanyian. Dalam bidang seni kerajinan, Sumba terkenal dengan tenunan ikat Sumba yang indah serta kuburan-kuburan batu yang diukir dengan berbagai ukiran. Disamping itu, Sumba mengenal anting-anting yang diukir dengan berbagai macam relief, yang terbuat dari emas, perak atau tembaga. Anting-anting ini disebut sebagai mamuli.
Berikut ini dipaparkan beberapa seni budaya Sumba, yaitu sebagai berikut:
1.      Bahasa
Bahasa adalah alat bagi kepentingan manusia untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, perasaan dan ide kepada orang lain. Bahasa merupakan sarana pengungkapan jati diri seseorang. Dengan menggunakan bahasa, maka orang lain akan mengetahui dari mana kita berasal.
Orang Sumba mempunyai bahasa daerah sendiri. Sumba Timur mengenal beberapa dialek bahasa berdasarkan wilayah kerajaan atau swapraja namun mereka mempunyai kesamaan yang sangat besar. Diantara dialek tersebut, dialek Kambera merupakan dialek yang dominan dipergunakan (begitu juga dengan Sumba Barat, dengan dialek Waijewa yang dominan). Hal ini karena swapraja Kambera memiliki wilayah yang paling luas dan penduduk yang terbanyak jika dibandingkan dengan swapraja yang lainnya. Itulah sebabnya Dr. L. Onvlee memilih bahasa Kambera untuk menerjemahkan bagian-bagian Alkitab, dan bacaan-bacaan lainnya untuk dipelajari disekolah-sekolah.
Bahasa Sumba dapat dibagi mejadi dua jenis, yaitu bahasa pergaulan sehari-hari dan bahasa ritual. Bahasa pergaulan sehari-hari umumnya berbentuk prosa yang banyak dikuasai dan dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Sumba, sedangkan bahasa ritual berbentuk puisi yang sarat dengan metafora-metafora yang hanya dikuasai dan dipergunakan oleh orang-orang tertentu pada kesempatan-kesempatan khusus. Bahasa Ritual dibagi atas dua jenis, yaitu bahasa ritual doa (hamayangu) yang dipergunakan dalam ritus-ritus keagamaan Marapu yang diucapkan oleh imam (ratu/rato) dan bahasa ritual baitan (luluku) yang diucapkan oleh juru bicara (Wunang) pada upacara perkawinan dan penyambutan tamu.
Bahasa ritual dipergunakan dalam sejarah nenek moyang (lii Marapu), ibadah kepada Ilah Tertinggi (Lii Ndewa Lii Pahomba), cerita tentang asal-usul penyembahan pada tugu (Lii kiringu lii andungu), tentang kematian (Lii heda lii mameti), tentang raja dan ratu (Lii kanda lii ratu), tentang perkawinan (Lii lalei lii mangoma), dan sebagainya.

2.      Nyanyian Sumba
Nyanyian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sumba. Nyanyian dilantunkan baik dalam kegiatan-kegiatan kultis keagamaan maupun dalam kegiatan-kegiatan lain. Dinyanyikan baik pada waktu suka maupun duka; baik di dalam rumah, paraingu maupun di luar rumah.
Nyanyian diiringi dengan ataupun tanpa alunan alat musik. Orang Sumba mempunyai alat-alat musik tradisional, seperti jungga, taleli, dan ngunggi. Nyanyian Sumba dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu nyanyian umum dan khusus. Nyanyian umum yang dapat dilagukan kapan saja, dimana saja, yang terdiri dari nyanyian ratapan orang mati, kisah tentang leluhur, silsilah, nasihat dan nyanyian pantun jenaka. Nyanyian khusus adalah nyanyian yang dilagukan pada waktu tertentu, yang hanya dinyanyikan di kampung (ludu la paraingu) yang bersifat kultis marapu (Ludu Ratu dangu Ludu Karambua, Ludu Langu Paraingu, Ludu Pamau Papa, ludu pabera), dan nyanyian diluar kampung (ludu la woka).



3.      Tari-tarian Sumba
Sebagaimana dengan nyanyian Sumba, demikian juga dengan tari-tarian merupakan bagian yang tak terpisahkan  dari kehidupan orang Sumba. Tari-tarian Sumba dapat diiringi dengan pukulan gong  atau dengan nyanyian. Oemboe Hina Kapita menggolongkan tarian kedalam dua jenis, yaitu tarian umum dan tarian khusus. Tarian umum adalah tari-tarian yang dapat ditarikan oleh siapa saja da dimana saja, yang teridir dari kandingangu, kabokangu, hiringu lamba, pata lamba, tari elang, bulu ayam, tari baris.

C.    GKS dan Adat Istiadat, Keebudayaan, serta Bahasa Sumba
GKS menyadari bahwa ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Sumba. Ia menyadari bahwa gereja Kristus di Sumba dan oleh karena itu gereja ini adalah gereja bagi orang orang Sumba. Orang Kristen di Sumba harus tetap menjadi orang Sumba yang mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya dalam konteks Sumba. Namun disadari pula bahwa adat istiadat dan kebudayaan Sumba tidak selurunya cocok dengan Injil. Oleh karena itu, GKS berupaya untuk melakukan kontekstualisasi Injil di Sumba. Berikut ini beberapa upaya kontekstualisai yang dilakukan GKS sepanjang sejarahnya.
1.      Arsitektur Gedung Gereja
Arsitektur gereja yang bergaya Eropa dibawa oleh utusan ke Sumba. Gedung gereja ini mempunyai menara dan didalam  menara ini ditempatkan lonceng gereja yang didatangkan dari Belanda. Bagi orang Sumba, arsitektur ini tidak dipandang sebagai unsur asing, sebab arsitekturnya sama dengan arsitektur rumah orang Sumba. Setiap gedung GKS memiliki menara diatasnya. Hal ini menjadi ciri khas yang membedakan  gedung GKS dari gedung gereja lain di Sumba. Perbedaanya hanya terletak pada jumlah tiang, bangunan yang bertingkat, dan perabot dalam gereja. Hal ini merupakan unsur baru bagi orang Sumba. Sekalipun gedung gereja dibangun dengan menara, anggota jemaat tidak percaya bahwa Tuhan Allah berdiam  di dalam menara tersebut seperti dalam kepercayaan Marapu dan lonceng gereja  tidak dipandang sebagai  tanggu Marapu. Tanggu Marapu adalah benda-benda yang dipercayai sebagai hak arwah nenek moyang (dewa).

2.      Upacara Penerimaan Petobat Baru ke dalam Gereja: Upacara Panggara Tau (Siapakah Anda)
  Upacara Panggara Tau adalah suatu upacara yang biasa diselenggarakan dalam masyarakat Sumba untuk menyatakan perdamaian antara kedua pihak hak (Paraingu) yang berperang serta penerimaan seorang penduduk desa yang merantau dan kini kembali lagi ke desanya. Upacara ini dilaksanakan oleh seluruh penduduk desa.
Pada ummnya upacara ini berlangsung sebagai berikut. Kedua belah pihak masing-masing diwakili oleh seorang juru bicara. Juru bicara pihak pertama menanyakan darimana mereka berasal, asal-usul, keturunan, maksud dan tujuan kedatangan mereka. Juru bicara pihak kedua menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pada akhirnya pihak pertama menerima pihak kedua dengan ditandai  oleh pemotongan seekor babi atau seekor kerbau serta tukar menukar tempat siri pinang. Upacara ini berasal dari tradisi masa lampau ketika peperangan antar-raja di Sumba masih terjadi.
Bentuk upacara ini diambil alih oleh GKS untuk menerima petobat baru untuk menerima petobat baru  serta persidangan sinode petobat baru, terutama apabila petobat baru ini terdiri dari jumlah yang besar. Pengambilalihan bentuk ini pertama-tama merupakan inisiatif Pdt. Ratubandju pada tahun 1967, yang kemudian dipergunakan dalam jemaat-jemaat lainnya.
Penggunaan bentuk ini bagi penerimaan petobat baru dalam gereja dipandang tepat karena melalui babtisan mereka diperdamaikan dengan Kristus. Proklamasi perdamaian ini diikrarkan di depan masyarakat sehingga masyarakat mengetahui bahwa mereka telah meninggalkan kepercayaan Marapu dan menjadi Kristen. Disamping itu, para petobat baru ini tela lama berada dan hidup di luar Kristus, namun mereka kini kembali dari perantauannya ke rumah Bapa. Mereka diterima kembali menjadi satu keluarga Allah.

3.      Lambang Kuda Putih
Lambang yang dipergunakan GKS adalah kuda putih yang ditunggangi oleh seseorang yang berjubah putih dan bermahkota, sambil membawa panah pada tanganya yang siap untuk ditembakkna kepada musuh-musuhnya. Lambang ini didasarkan kepada Wahyu 6:2.
Lambang ini adalah hasil karya seorang guru Belanda, keluarga seorang pendeta utusan di Sumba, namun ia sendiri tidak pernah ke Sumba. Ia mempunyai perhatian besar terhadap pekerjaan Zending di Sumba dan mengikuti dengan cermat pergumulan dan kemajuan pekerjaan Zending di Sumba. Pada waktu GKS berdiri sendiri, ia mengirimkan lambang ini ke Sumba dan menawarkannya kepada GKS untuk dijadikan sebagai lambangnya. Ia memberikan penjelasan makna sebagai berikut: Kuda putih merupakan binatang akrab dengan masyarakat Sumba. Seseorang yang menunggangi kuda dan membawa panah mempunyai makna tentang tugas dan panggilan gereja di Sumba, yaitu memberitakan Injil di Sumba. Pemberitaan Injil berhadapan dengan banyak kesulitan dan tantangan namun pemberitaan Injil di Sumba akan berhasil pada waktunya.
Penggunaan kuda putih juga merupakan hal yang tepat, karena kuda putih (Kanusu) banyak dipergunakan oleh para raja dan bangsawan Sumba sebagai kuda tunggangannya. Pemakaian lambang ini dapat dipandang sebagai upaya kontekstualisasi di Sumba. Pemakaian lambang ini menimbulkan dampak positif bagi penganut marapu yang ingin menjadi Kristen. Mereka berpendapat bahwa kuda merupakan bagian dari kehidupan mereka dan karena itu mereka merasa aman untuk bergabung dalam sebuah gereja berlambang Kuda. Karena itu, GKS dipandang sebagai gereja untuk orang Sumba.



4.      Nyanyian Gerejawi dan Alkitab Bahasa Daerah (Kambera dan Waijewa)
Nyanyian dan Alkitab Bahasa Daerah merupakan alat pekabaran yang ampuh di Sumba. Pada zaman Zending, penerjemahan Mazmur dan Alkitab kedalam bahasa Sumba telah diusahakan, misalnya penerjemahan Mazmur dan Alkitab kedalam Bahasa Kambera dan Waijewa yang mudah diterima, dan dipahami oleh orang Sumba.






































BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sebagai warga gereja yang hidup di bumi Indonesia, khususnya Gereja Kristen Sumba yang hidup dan bertumbuh di Pulau Sumba, merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kita hidup dalam masyarakat yang masih sangat kuat memelihara dan dipengaruhi oleh kebudayaan Sumba yang diwarisi dari generasi terdahulu. Sadar atau tidak sadar, ada banyak norma kebudayaan yang iktu mengatur dan membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat Sumba hingga sekarang ini. Hal ini tetap terjadi pada saat orang Sumba menerima dan menyatakan kesetiaan menjadi pengikut Kristus. Pengaruh kebudayaan  Sumba tempat dimana kita lahir dan bertumbuh tentu tidak bisa diabaikan, tetapi sebaliknya tetap mewarnai kehidupan kita sehari-hari, terutama dalam sejarah perkembangan kekristenan di Sumba, dalam hal ini sejarah Gereja Kristen Sumba.
Orang Sumba mempunyai budaya tersendiri. Mereka telah mengenal budaya bersawah, bertani, seni kerajinan, bahasa, tari-tarian, dan nyanyian. Semua ini merupakan seni budaya yang lahir dan bertumbuh dalam konteks kehidupan masyarakat Sumba. GKS menyadari bahwa ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Sumba. Ia menyadari bahwa gereja Kristus di Sumba dan oleh karena itu gereja ini adalah gereja bagi orang orang Sumba. Orang Kristen di Sumba harus tetap menjadi orang Sumba yang mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya dalam konteks Sumba. Namun disadari pula bahwa adat istiadat dan kebudayaan Sumba tidak selurunya cocok dengan Injil. Oleh karena itu, GKS berupaya untuk melakukan kontekstualisasi Injil di Sumba. Beberapa upaya kontekstualisai yang dilakukan GKS sepanjang sejarahnya, meliputi Arsitektur gedung gereja, Panggara Tau, Lambang Kuda Putih, dan Bahasa Kambera-Waijewa dalam nyanyian gerejawi dan Alkitab.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERISTIWA KELUARNYA BANGSA ISRAEL DARI TANAH MESIR (Makna Sosiologis-Teologis)

     Peristiwa Keluarnya Bangsa Israel dari Mesir. Keluarnya bangsa Israel dari Mesir adalah hal yang pokok dalam iman Perjanjian Lama. Peristiwa ini merupakan inti dalam iman orang Yahudi. Orang Yahudi selalu mengingat masa ketika Allah bertindak membebaskan leluhur mereka dari perbudakan di Mesir. Hal ini dapat dilihat pada keterangan yang sangat karakteristik bagi Allah dalam Perjanjian Lama berbunyi sebagai berikut: “Akulah Tuhan Allahmu, yang mengeluarkan engkau dari tanah Mesir”. Allah seperti itulah yang diberitakan oleh para nabi. Nabi Amos mengatakan “Akulah yang menuntun kamu keluar dari tanah Mesir. Nabi Hosea memberitakan, “Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir kupanggil anak-Ku.” Kalau ada anak bangsa Israel/Yahudi bertanya kepada ayahnya tentang makna perintah yang mengikat bangsa Mesir itu, sang ayahnya harus menjawabnya sebagai berikut: “Kita dahulu adalah budak Firaun di Mesir, tetapi Tuhan membawa kita keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat.

KONSEP DASA TITAH DAN TABUT PERJANJIAN

BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Dasa Titah dan Tabut merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam kehidupan Bangsa Israel. Dasa Titah merupakan daftar perintah agama dan moral yang ditulis dan diberikan kepada Israel melalui perantaraan Musa yang memiliki keistimewaan yang terkenal bagi Israel, dalam agama Yahudi dan Kristen sekarang ini, yang menjadi sebuah pedoman yang mengatur tingkah laku dan tabut merupakan tempat dimana Allah hadir dan menyertai bangsa Israel. Pemberian dasa titah dalam Keluaran 20:1-17 merupaakan tanda perjanjian yang ditawarkan kepada Israel dalam Keluaran 19:5 dan ketaatan akan perjanjian itu akan membuat Israel menjadi umat Allah. Jadi, Keluaran 17:1-17 mengemukakan tuntutan-tuntutan perjanjian dan perjanjian tersebut disahkan dalam upacara yang penuh khikmad sperti yang dikemukakan dalam Keluaran 24::3-8. Sedangkan tabut perjanjian merupakan sebuah tempat loh batu yang ditulisi loh batu. Tabut tersebut ditempatkan dalam Kemah Suci yang m